Oleh : La Ode Erwin S.IP
(Pemerhati Demokrasi)
Kontestasi adalah mekanisme Negara demokrasi dalam memutuskan hal-hal penting dalam bernegara. Sebagai Negara demokrasi Indonesia telah memantapkan posisinya sebagai salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia. Hal ini terlihat dalam setiap kontestasi atau pemilu dimana pemimpin dan wakil rakyat di parlemen di pilih secara langsung oleh rakyat.
Pemilihan umum secara langsung merupakan hasil amandemen ke IV UUD 1945. Pelaksanaan Pemilu secara langsung telah dilakukan selama dua decade namun sebagai Negara demokrasi yang berumur jagung banyak tantangan yang kerap merusak proses demokratisasi dalam konteks pemilu di Indonesia.
Salah satu tantangan tersebut adalah money politik. Money politik adalah upaya terorganisir bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan para pemilih dalam sebuah proses pemilihan umum (Nisa Nabila, 2020:147). Dampak money politik diantaranya menghambat pengembangan nilai demokrasi, azas jujur dan adil (Muchtar, 1999). Termasuk tentunya adalah pupusnya harapan untuk terpilihnya pemimpin yang jujur dan adil.
Mencermati penyelenggaraan pemilu maupun pilkada sebelumnya, money politik masih menjadi strategi mayoritas politisi untuk memuluskan ambisinya. Terkadang justru money politik mendapatkan penerimaan yang pemakluman dalam psikologi pemilih. Akibatnya budaya money politik menjadi kian mengakar sebagai satu ritual utama bagi siapapun yang memiliki kehendak dalam kontestasi.
Permasalahan ini tidak lahir begitu saja tetapi saling terkait dengan persoalan lainnya yaitu stakeholder dalam proses pemilu. Dari sisi regulasi pemidanaan terhadap money politik telah direalisasikan dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi sebagaimana disinggung di awal, money politik ini terjadi berkat adanya consensus antara pemberi dan penerima yaitu masyarakat. Sehingga pengawas pemilu seperti bawaslu dan NGO demokrasi kesulitan mengungkap praktik money politik. Demikian pula penyelenggara pemilu atau KPU tidak memiliki kuku untuk mengendus siapa kandidat yang bakal melakukan money politik saat proses pendaftaran di KPU.
Akibatnya semua pihak hanya menunggu kesadaran semua pihak. Sesuatu yang sangat mustahil jika hanya dengan menunggu kesadaran untuk sebuah perubahan. Bisa jadi justru sebaliknya, yaitu money politik telah menjadi “bagian” proses demokratisasi di Indonesia.
Jika membedah anatomi money politik maka di jumpai ada tiga unsur penting yaitu, pemberi money politik, uang (atau barang yang dapat nilai dengan uang) dan penerima money politik. Uang adalah sesuatu yang netral disini. Ia tidak dapat bergerak sendiri melainkan digerakan oleh subjek pemberi money politik. Yang kedua penerima money politik yang dalam hal ini pasti masyarakat yang telah berusia 17 tahun sesuai UU Pemilu. Mayoritas pemilih di Indonesia adalah pemilih tradisional yang memilih tanpa dengan standard program atau tujuan politik tertentu. Hal ini berkaitan dengan banyak hal seperti tingkat pendidikan dan kesejahteraan cukup mempengaruhi perilaku pemilih tradisional.
Kompleksitas karakter pemilih dengan jumlah yang besar sulit untuk ditentukan satu obat untuk permasalahan money politik. Setiap pemilih memiliki perilaku yang atau alasan yang berbeda-beda dalam menentukan pilihannya. Termasuk untuk apatismenya terhadap proses demokrasi. Sehingga butuh waktu lama dalam melaklukan “revolusi” pola pikir pemilih dalam waktu yang singkat, untuk menolak money politik misalnya.
Sisi yang cukup mudah dalam mengkonstruksi pelaku money politik adalah justru pemberi money politk. Pemberi money politik pasti adalah seorang kandidat, entah kandidat anggota legislative atau eksekutif yang dalam prosesnya di penyelenggara di seleksi berdasarkan peraturan perundang-undangan oleh KPU. Ada beberapa syarat di regulasi tentang para kandidat ini yang notabene aturan itu sangat “gampangan”. Misalnya standard pendidikan hanya setara SMA, hal mana sangat berbeda dengan misalnya ASN yang harus memilki kualifikasi tertentu termasuk pendidikan tinggi. Padahal tugas mereka (kandidat) ketika terpilih jauh lebih susah daripada seorang ASN golongan 3B. begitu pula seorang calon anggota legislative harus memiliki kualifikasi karena tugasnya sebagai regulator, pengawas dan budgeting yang butuh kematangan inteletual. Inti dari permasalahan ini adalah perlunya peningkatan standard pendidikan bagi kandidat agar ruang pengambilan keputusan di isi oleh orang-orang yang kualified.
Secara filosofis gagasan demikian telah disinggung oleh Plato yang mana ia menganjurkan agar para pemimpin itu dari kalangan filosof dalam konteks saat ini mungkin adalah orang yang berilmu dan berpendidikan. Sehingga penetapan standard pendidikan tinggi menjadi penting sekali untuk menunjang demokratisasi yang senantiasa bergulir. Karena kepemimpinan yang baik akan menghasilkan yang baik pula. Semua berawal dari pintu masuk yaitu regulasi standarisasi kandidat yang sangat perlu dibenahi segera.(***)
Ya ya ya